Kamis, Desember 09, 2010

wayang wahyu


AKULTURASI BUDAYA JAWA-EROPA DALAM FIGUR WAYANG WAHYU “NGAJAB RAHAYU” SURAKARTA


Penelitian ini termasuk penelitian Pengembangan Kelembagaan dengan kajian di bidang seni dan budaya. Wayang sebagai seni pedalangan dan drama tradisional Indonesia (Jawa) bersifat kompleks dan sudah dikenal sejak masa purbakala (+ 1500 SM). Wayang menggambarkan sikap animisme berupa pemujaan kepada roh nenek moyang (hyang/dahyang) berwujud siluet gambar dua dimensi. Wayang menjadi mahakarya pertunjukan seni yang komplit dan rumit telah memperkaya khasanah keaneka ragaman wayang yang terus berkembang di Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) dan telah memiliki hampir 60 jenis wayang. Kesenian wayang sudah diakui UNESCO tanggal 7 November 2003 sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity yang memiliki nilai estetika, etika dan budaya indah dan sangat berharga dalam proses pembangunan karakter bangsa. 
Komunitas Kristiani di abad ke-20 berhasil menciptakan wayang kulit dengan tata rupa cenderung lebih "realis." Pemrakarsanya Br. Timotheus Wignjosoebroto FIC, sedangkan wayangnya dibuat oleh Rusadi Wijoyosawarno pada tahun 1957-1959. Pemikiran dan religiusitas Br. Timotheus tersebut tidak lepas dari upaya mengajarkan dan memahamkan ajaran Katolik dalam konteks seni budaya Jawa. Persepsi bahwa agama Katolik sebagai agama Eropa perlu disosialisasikan sebagai bagian dari suatu transformasi agama baru yang bernafaskan budaya Jawa seperti pada agama-agama sebelumnya (masa Hindu-Islam).
  Akulturasi dan difusi budaya menjadikan wayang wahyu menjadi suatu media yang tepat untuk memperkenalkan ajaran Katolik sebagai tatanan dan tuntutan baru kehidupan beragama dalam masyarakat. Gagasan ini direalisasikan dengan membuat wayang yang didesain mirip wayang purwa tetapi memiliki karakteristik penokohan/rupa manusia sebenarnya (realistis) dengan cerita dari Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang memiliki corak budaya Eropa/barat. Berdasarkan latar belakang masalah tentang proses akulturasi budaya Jawa dan budaya Eropa pada figur wayang wahyu maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana akulturasi budaya Jawa-Eropa dalam figur wayang wahyu?
b. Bagaimana perkembangan wayang wahyu sebagai media sosialisasi nilai budaya Jawa-Eropa?
  Wayang Wahyu dirancang untuk mendekatkan keimanan Katolik dengan kebudayaan Jawa sebagai realisasi pendekatan ajaran Kristiani dengan muatan lokal (kesenian tradisional/Jawa) yang justru melahirkan akulturasi budaya. Corak dan warna wayang tersebut memberi pemahaman agama dalam bingkai kosmologi dan pola kehidupan Jawa dengan bahasa Jawa sebagai media transformasinya. Pencitraan figur wayang wahyu tidak lepas dari konsep dasar wayang kulit (purwa) umumnya, tetapi memiliki karakteristik khusus melalui penggambaran figur manusia realistis dalam dua dimensi dengan ciri “rupa wong” (bermuka Eropa/barat).
  Perbedaan mendasar wayang wahyu terdapat pada sistem pakeliran padat seperti panggung/teater barat tetapi sarat dengan model pakeliran dan perangkat gamelan Jawa. Perupaan Wayang Wahyu menjadi persoalan dilematis, antara setengah boneka, wayang dan setengah gambar manusia realistis berwajah Eropa. Wayang Wahyu menjadi fenomena desakralisasi lambang karena figur tokohnya lebih condong sebagai media pewartaan iman saja dalam bentuk kesenian wayang. Keterbukaan sikap dan struktur budaya masyarakat Jawa dalam menerima budaya luar/asing mencerminkan bahwa budaya Jawa dapat berevolusi dan berakulturasi. Tema bebas yang diambil dari Alkitab tersebut mendorong pagelaran wayang wahyu dapat mengupas dan menguraikan firman/wahyu dalam Alkitab sesuai dengan kebutuhan. Rambu-rambu pewartaan iman tetap dipegang teguh oleh para dalang setelah dikonsultasikan dengan pihak gereja karena alur cerita tersebut harus sesuai dengan Alkitab dan untuk menghindari adanya proses salah penafsiran pasca pementasan. 
  Perangkat pagelaran wayang wahyu juga memiliki unsur hampir sama dengan wayang purwa, yaitu unsur (1) perangkat wayang; (2) dalang; (3) niyaga; (4) waranggana, yang tidak harus selalu berbusana Jawa seperti pada wayang purwa; dan (5) iringan gending gamelan baik laras pelog maupun slendro, yang lagu-lagunya merupakan campuran iringan gending rohani maupun umum. Sedangkan alur atau sistematika pementasan wayang wahyu memiliki unsur (1) Lakon; (2) Catur; (3) Pocapan; (4) Ginem; (5) Sabet; (6) Iringan; dan (7) Gending. Sedangkan struktur dramatik dalam wayang wahyu pada awalnya mengikuti konsepsi wayang purwa yaitu ada adegan (1) dudut kayon/permulaan; (2) pertengahan; dan (3) akhir/penutup/tancep kayon. Perkembangan selanjutnya, unsur struktur dramatic wayang wahyu tidak lagi seperti wayang purwa sehingga memiliki ciri khas sendiri. Hal ini dapat dilihat pada tiap-tiap adegan digarap lebih inovatif dan variatif.
  Pola pementasan baru ini mendorong wayang wahyu lebih memprioritaskan setiap adegan dari lakon yang disampaikan dalang. pada adegan “goro-goro” atau lelucon dengan menampilkan figur “Limbuk-Cangik” sebagai adegan lucu-lucuan yang memuat materi pesan kepada instansi-instansi terkait. Adegan “goro-goro” ini akhir terkesan terpisah dari cerita utama karena pada adegan “goro-goro” terlihat keluar dari pakem wayang purwa yang tetap sesuai dengan materi lakon utamanya. Pengaruh kebudayaan spiritual Kristen terhadap masyarakat Jawa dapat dilihat pada konsepsi Trinitas ajaran keimanan kepada Tuhan. Konsepsi trinitas dalam kebudayaan Jawa telah dipahami sebagai dasar kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan kosmologi alam sekitarnya.
  Kesenian wayang sebagai salah satu wujud kesenian masyarakat, khususnya Jawa menjadi simbol komunikasi dan tuntutan konsepsi kehidupan. Inkulturasi dan apresiasi budaya Jawa terhadap pengaruh budaya asing/Eropa (Kristen) sesuai pencitraan pemahaman bahwa agama Katolik/Kristen tidak semata sebagai agama Barat/Eropa tetapi juga memberikan tuntunan dan tontonan yang sama seperti wayang lainnya. Wayang Wahyu menjadi bingkai adaptasi dan toleransi budaya agar eksistensi gereja tidak menjadi jauh dari masyarakat lingkungan Jawa. Kehadiran sinden/waranggana dalam wayang wahyu lebih memegang peranan berat daripada sinden pada wayang purwa. Peran penting sinden ini memberikan nilai lebih pada nuansa budaya Jawa bahwa masyarakat Jawa untuk memberikan siraman rohani bersifat religius magis yang mampu mengantarkan penonton menemukan jatidirinya sebagai manusia Jawa. 
  Pakeliran Wayang Wahyu tidak membuka kemungkinan untuk mengadakan tafsir othak-athik-gathuk dalam mengartikan sesuatu sebagai sebuah lambang, karena semua implikasinya harus berdasar pada Kitab Suci/Alkitab. Wayang wahyu yang berkembang di Surakarta ini memiliki fungsi sosial dan ritual keagamaan. Pementasan wayang wahyu “Ngajab Rahayu”Surakarta dari YPL menjadi media sosialisasi nilai budaya Eropa-Jawa dan sebagai media pewartaan iman untuk menanaman nilai budaya Eropa dalam bingkai kesenian budaya Jawa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar